Gaduh Beras Oplosan, Konsumen Merasa Dirugikan

IDNPUBLIK.COM, Pesisir Barat – Kabiro Media Idnpublik.com, sekaligus merangkap Sebagai Ketua Lidbang Direktorat, LPK GPI Lembaga Pelindung Konsumen Pesisir Barat, menghimbau kepada Pelaku Usaha yang nakal.

Mengenai kegaduhan tentang beras oplosan yang terjadi dimasyarakat, Jika masih terulang lagi atau kami menerima laporan dari Konsumen tentang adanya informasi penjualan Beras Oplosan. Maka kami akan bertindak tegas dan tanpa tolesansi lagi.

Karena Beras bukan sekadar komoditas pokok, ia adalah simbol ketahanan pangan, kesejahteraan, dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem distribusi pangan nasional.

Maka ketika publik dikejutkan oleh temuan beras premium yang ternyata tidak sepenuhnya sesuai standar alias oplosan, hal itu bukan hanya soal kualitas produk, tetapi menyentuh aspek yang jauh lebih dalam mengenai transparansi, kejujuran, dan perlindungan konsumen.

Fakta di Balik Kasus Beras Oplosan

Beras yang dipasarkan sebagai beras premium, pada dasarnya harus memenuhi kriteria mutu tinggi, seperti bulir utuh, aroma khas, rasa pulen, serta kadar pecahan minimal.

Namun belakangan diketahui, sejumlah produk yang diklaim sebagai beras premium justru mengandung kadar pecahan tinggi, yang secara kualitas seharusnya termasuk dalam kategori medium.

Ironisnya, produk tersebut tetap dijual dengan harga premium di atas Rp. 15.000/kg, padahal menurut ketentuan Satgas Pangan Polri, beras dengan komposisi pecahan 15% hanya layak dijual maksimal sekitar Rp. 12.000/kg.

Ketidaksesuaian antara kualitas dan harga inilah yang memunculkan indikasi pelanggaran prinsip perdagangan yang jujur dan transparan, serta memunculkan pertanyaan mengenai pengawasan di lini produksi hingga distribusi.

Konsumen sebagai Pihak yang Paling Dirugikan

Setidaknya terdapat beberapa aspek krusial di mana konsumen mengalami kerugian akibat praktik semacam ini :

1. Kerugian Ekonomi Langsung
Masyarakat membeli produk dengan harga tinggi, namun tidak menerima kualitas yang sepadan. Ini merupakan bentuk ketidakseimbangan informasi antara pelaku usaha dan konsumen.

2. Menurunnya Kepercayaan terhadap Produk Pangan
Kasus semacam ini dapat berdampak panjang pada persepsi masyarakat terhadap merek dagang, pelaku usaha, bahkan terhadap sistem distribusi pangan nasional secara umum.

3. Gangguan Terhadap Stabilitas Pasar dan Aksesibilitas
Penarikan produk beras dari pasaran, meskipun untuk kepentingan perlindungan konsumen, berpotensi menyebabkan kelangkaan sementara dan membuat masyarakat kesulitan mendapatkan beras berkualitas sesuai kebutuhan.

Pentingnya Penguatan Sistem Pengawasan Produk Pangan

Kedepan, pengawasan mutu produk pangan, khususnya yang dikemas dan dijual secara massal di ritel modern maupun pasar tradisional, perlu diperkuat melalui:

Peningkatan mekanisme kontrol kualitas oleh produsen dan distributor, termasuk pencantuman informasi produk secara jujur dan detail.

Koordinasi lintas sektor antara pemerintah pusat, daerah, dan lembaga pengawasan untuk menjamin kesesuaian antara label, isi, dan harga.

Edukasi publik agar konsumen mampu mengenali ciri-ciri beras premium yang sebenarnya, serta berani melaporkan bila menemukan kejanggalan.

Harapan Menuju Tata Niaga Pangan yang Lebih Sehat

Kejadian ini dapat menjadi titik tolak untuk memperkuat sistem perdagangan pangan yang lebih etis, transparan, dan berpihak pada kepentingan konsumen.

Masyarakat tentu berharap bahwa setiap kebijakan dan tindakan korektif ke depan dapat dijalankan secara menyeluruh dan konsisten.

Dalam konteks ini, semua pihak memiliki peran penting mulai dari pelaku usaha, regulator, hingga masyarakat itu sendiri.

Perlindungan konsumen bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi juga fondasi dari kepercayaan publik terhadap sistem ekonomi nasional. (Amsir)

Redaksi

Redaksi

Tinggalkan Balasan